Rabu, 07 September 2011

Anak Berumur 12 Tahun Berbisnis, Cinta Lebaran Buat Sang Ibu

Lebaran adalah waktu yang sangat ditunggu oleh setiap kalangan. Dalam hal ini orang yang beragama islam. bahkan jauh sebelum itu pasar dan pusat perbelajaan lainnya ramai oleh pembeli yang ingin merayakan lebaran. baik itu membeli bahan-bahan untuk pembuatan kue lebaran, maupun pakaian baru untuk sanak saudara mereka. tradisi ini adalah tahunan terjadi di Indonesia. ada juga yang melakukan perjalanan Mudik ke kampung halaman meski jauh sekalipun. 

Teman-teman sekalian yang baik hatinya, kisah yang satu ini tidak jauh-jauh dari lebaran. dari anak yang bernama Muhammad Al-farizi. 

Terlihat raut muka kesal khas anak kecil di wajahnya saat pemerintah memutuskan bahwa Idul Fitri dilaksanakan lusa. Keputusan itu tampaknya belum membuat anak kecil itu yakin. kepada ibunya, ia meminta agar menelepon keluarga besarnya di seberang desa, bahkan Pamannya yang sedang kuliah di Bandung. tapi hasilnya nihil, kabar yang ia dapat serupa dengan apa yang ia dengar di Televisi malam itu. terlihat kecewaan dalam dirinya, anak kecil berumur 12 tahun. 

Tak sabar kelihatannya. Ingin cepat-cepat dipertemukan dengan hari kemenangan itu. hari yang sangat membahagiakan saat berkumpul dengan keluarga. Hal yang lebih menyenangkan lagi bagi anak seusianya ialah mendapatkan "salam tempel"  alias Tunjangan Hari Raya (THR).

sangking tak sabarnya, ia seharian tidur di kamar berharap waktu cepat berlalu. namun, usahanya sia-sia. tetap saja ia terus terbangun, entak kenapa, mungkin karena  kegelisahan.

Sedikit melenceng dari lebaran. seminggu sebelum dipertemukan dengan bulan Ramadhan, anak ini dirawat rumah sakit. sempat mengalami koma. tak mampu bicara. berkali-kali dilakukan cuci darah. panasnya tinggi dan mukanya pucat. Namun sayup-sayup ia masih bisa mendengar orang berbicara. ia tahu jika disampingnya, selalu ada sang ibu yang menemaninya. tak henti-hentinya sang ibu membisikkan. "sembuhlah nak...sembuhlah nak.....!" dengan air mata menetes. sebenarnya sang ibu tak sanggup melihat anknya itu terbaring sakit dengan keadaan seperti itu. namun, apa daya, ia harus selalu di sana. karena jika sesuatu terjadi, ia mungkin tak dapat bertemu lagi dengan anak satu-satunya itu.

Alhamdulillah, dengan kekuasaan Allah dan Rahman-Nya anak ini bisa sehat sediakala. juga usaha keluarga yang begitu besar untuk kesehatannya. meski harus membayar mahal, hutang sana sini, tapi mereka tetap bersyukur Al-Farizi bisa sembuh kembali. 

senyum anak itu kembali ceria pasca perawatan itu. masih sangat ingat ia saat berada di rumah sakit kala itu. ada ibu yang selalu di sampingnya, sesekali saudara-saudaranya memberikan support kepadanya agar lekas sembuh. 

kembali lagi ke lebaran kawan-kawan. akhirnya ia mendengar takbiran malam itu. "Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.... Allahuakbar wa Lillahilhamd..." senangnya bukan main, ia gembira ria menyambutnya. membakar petasan yang semenja kemarin sudah dibelinya. serta "menghidupkan" kembang api dan menerbangkannya ke angkasa. di raut wajahnya terlihat keceriaan yang sangat besar. 

besoknya ia mondar-mandir ke rumah sanak-saudara. sungkeman dan sangat berharap ada uluran tangan berisi amplop yang banyak dari mereka. "hehe..." ia tertawa ketika ada yang mulai memberinya THR. dimasukkannya ke dalam kantong celana dan menunggu Tunjangan selanjutnya. bertubi-tubi ia mendapat uluran tangan itu. isinya menakjubkan baginya. tak ada yang kurang dari Rp.20.000. 

malamnya ia berhitung dan alhamdulillah terkumpul sebanyak 800 ribu Rupiah. uang yang cukup besar baginya. 

disampingnya ada ibu yang ikut membantu menghitung uang itu. ia menyaksikan kegirangan anaknya itu. senang rasanya ia bisa melihat anak kesayangannya itu selalu tersenyum dan tertawa, tidak seperti di rumah sakit dulu. namun ia tak ingin terlalu menigingat saat-saat lara itu. bahkan ingin melupakannya.

sang ibu terperanjat ketika anaknya itu menyapanya.
"ibu, ini duitnya untuk ibu...!" ia berikan seluruh selebaran uang yang ada di genggamannya itu. 
"buat apa, nak?' tanya ibunya kaget.

"ambil saja ibu, dan terima kasih waktu itu ibu selalu berada di sampingku saat aku sakit...!!! dengan polos dan sungguh tindakan yang sangat jauh dari anak seusianya. 

"ibu lebih membutuhkan uang ini..!" lanjutnya.

ibunya menangis menyaksikan tingkah "malaikatnya" itu. sang ibu langsung memeluk anaknya dengan erat. "aku menyayangimu, nak..!" ucapnya sambil tersendat-sendat karena tangisan.
sang ibu sangat bijaksana. bagaimanapun uang itu adalah uang anaknya, uang hasil mondar-mandir anaknya itu ke sanak saudara. tak ada haknya untuk memakan hasil jerih payah anaknya itu. apalagi ia masih kecil. ucapnya dalam hati. uang itu dibelikannya playstation2 atau PS2. 

"ini nak uangmu ibu belikan, PE ES..!!! kamu bisa main sekalian bisnis rental Pees di rumah."

anak itu mngangguk seraya mengiyakan ucapan ibunya itu. akhirnya anak itu berbisnis rental pees dan mampu meringankan beban orang tua serta menambah uang jajannya. 100% ia menjalankan bisnis itu sendiri. langganannya adalah teman-teman sebaya bahkan ada yang jauh lebih tua. 

kisah yang menurut saya subhanallah, mudah-mudahan pembaca bisa mengambil hikmah dari tulisan ini. amin.

Selasa, 06 September 2011

Wahai Pemangsa Puisiku


Wahai Pemangsa Puisiku

Waktu menyekat tapakku
 Pemangsa mencabik-cabik puisiku
Mengoyak setiap goresan tinta di atas kertas putih itu
Meretas sulaman syair yang kulantunkan
Merobek sekat-sekat selebaran yang kutulis
Senarku terputus yang seharusnya menjadi melodi nan merdu
Harmoni nyanyian kalbu yang tak terbendung
Merana seketika itu
Saat kau memangsaku
Saat matamu menatapku tajam
Saat taringmu kau ngangakan
Kau sempat membuatku terperanjat
Berselimut tirai agar tak terlihat
Kau sempat membuat tanganku membeku
Lumpuh tak mampu menyeru
Wahai pemangsa!
Yang membelengguku begitu lama
Kini kuhadir
Mataku tak lagi takut akan taringmu
Telingaku tak lagi bising karena aumanmu
Aliran nadi yang dulu sempat kau sendat, membuat darahku tak membeku
Tapi kini, tatap aku wahai pemangsa!
Taringku jauh lebih tajam
Tatapanku jauh lebih dalam
Puisi mngalir deras di nadiku
Dan takkan pernah terputus
Ia ada di setiap hembusan napasku
Tak akan mati
Menyapa setiap indraku
Tak akan pernah lekang di setiap langkahku
Aumannya jauh lebih keras
Melodinya meharmoni setiap indra
Membuat syahdu kalbu
Mengalangkankan aumanmu
Mempecundangi matamu
Dan mengunyah taringmu yang rapuh
Wahai pemangsa




Tak Bertepi



Sebuah Cerpen Karya Alumni Smart Ekselensia Indonesia,
Subhanallah Walhamdulillah......
Tak Bertepi
(Goresan Tinta Pena: Hady Berhidayah....Hahaha)
Tidak seperti suami pertamaku dulu. Yang baik dan sayang dengan anak-istri. Bertutur kata lembut. Tak pernah bermuka murka meski sedang marah. Gajipun selalu diberikan seluruhnya kepadaku.

Bersamanya, ku tak dapatkan itu. Hanya makan dan tempat tidur empuk yang bisa kunikmati. Tapi apalah, itu juga kudapatkan dulu. Bersama suami yang dulu selalu membuatku senyum. Senantiasa membuat hati ini sejuk diselimuti pelukan kasih-sayang. Kata-kata yang terucap membuatku patuh tak pernah membantah. Senang rasanya bisa seperti dulu lagi.

Tuhan begitu baik. Tidak menakdirkanku bersamanya dalam tempo yang lama. Hanya di sisa-sisa hidup. Saat raga ini tak mampu lagi berjalan dengan baik. Kadang-kadang terpeleset hampir jatuh. Rambut ini pun memutih seutuhnya. Kulit yang dulu sehat kini sudah sangat keriput. Napas tak lagi selegah dulu. Ada sesak menusuk-nusuk, membuat remuk dada.

Aku masih ingat saat ia menjemputku ke rumah. Menjemputku untuk menikah dan menggantikan istrinya yang telah tiada. Meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya. Saat itu nasipku serupa dengannya. Setahun lalu aku ditinggal  suami yang lebih dulu ke surga. Nisan memisahkannya denganku dan anak-anak.

Kuterima lamaran itu dan tinggal bersamanya. Mungkin ia ingin memulai hidup baru bersamaku. Juga mencoba merajut kembali cinta kami yang lama terputus. Terputus oleh restu orang tua. Cinta yang dulu sempat bersemai di desa. Saat dulu kami masih duduk di bangku SMA. Namun, harus kandas karena perjodohan itu.

Kini kami dipertemukan lagi, tapi di masa tua. Tak ada anak-anak dan cucu. Hanya kami berdua. Mereka sudah menjalani hidup masing-masing bersama keluarga “barunya”. hanya ada kabar melalui telepon. Itupun sesekali saja. Anak-anak tiriku pun datang saat menjelang lebaran tiba. Hanya beberapa kali di hari biasa. Itupun menjenguk ayahnya. Menanyai kabarku? Tak pernah. Aku ibarat patung yang di pajang di keramaian. Orang-orang hanya melihat.

Hari-hariku habis hanya untuk mengurusi dirinya yang terserang stroke. Kaki kanannya sudah lumpuh, mati rasa. Kadang-kadang aku membantunya agar bisa berdiri dengan tongkatnya. Memasak makanan. Membersihkan tinjanya saat ia buang air di kasur, bahkan di sembarang tempat. Tak ada kebahagian di hari tuaku ini. Saat dulu berpacaran, bisa kubayangkan kebahagian yang tak tertera jika aku menikah suatu saat dengannya. Tapi aku salah, saat aku sudah bersamanya kini, hanya sesak dan kesal yang ada. Menerpa di setiap sekat-sekat langkah.

Setiap kewajiban sebagai seorang istri sudah kulakukan untuknya. Ikhlas tak mau Tuhan murka karena tak patuh padanya. Tapi tak ada kebahagian yang kudapat darinya. Kebahagian yang indah seperti dulu. Ia tak memberinya. Mungkin cintanya hanya untuk mantan istrinya. Mungkin itu sebabnya foto-foto istrinya yang dulu masih megah terpajang di dinding rumah tua ini. Bahkan ada yang berukuran besar. Tapi, mengapa ia menikahiku?

Apakah aku hanya dijadikan “pembantu” di rumah ini? aku tak sanggup lagi. Kuingin keluar dari belenggu, pergi meninggalkan “majikanku” ini. Akhirnya kuputuskan untuk dipulangkan ke Kalimantan, kampung halamanku. Di sana kuingin menikmati masa tua bersama anak-anak dan cucu-cucuku. Menikmati sisa-sisa hidup bersama mereka. Aku ingin melihat tawaan cucu-cucuku yang lucu. Canda anak-anakku yang menggelitik. Mencium semerbak mereka yang semakin mewangi. Senyum-senyum yang merekah yang membuat sejuk kalbu.

Ia mengizinkan permintaan terakhirku ini. Habis lebaran aku akan terbang ke sana. Terbang menuju kebahagian yang kuimpikan. Bertemu mereka, orang yang aku cintai. Tak sabar rasanya menunggu hari itu. Hari kedua lebaran. Tiket ini akan mengantarkanku.

Namun, ku tak sanggup melawan takdir. Tuhan memberiku sakit. Sakit yang sejak lama gejalanya kurasakan. Begitu menyiksa. Dan jika ia datang, gigiku selalu menggigit lidah hingga biru merona. Saat ini koma dan dilarikan ke rumah sakit.

Katanya, aku sudah 24 jam tak sadarkan diri. Tak ada bicara. Bisu tak bergerak. Ceritanya kudengar saat mulai siuman esoknya. Itupun terdengar sayup. Setiap orang yang berbicara ku dengar seperti bisikan.

Ia hanya satu kali menjengukku. Kemana dia? Aku sedang tak sanggup berbuat apa-apa. Menggerakkan salah satu saja bagian tubuhku pun tak bisa. Hanya kunang-kunang kekosongan yang bisa kurasakan. Bagaimana perasaan dia, apa yang dia sedang lakukan? Aku sendirian di sini tanpa sanak saudara.

Aku tak sanggup lagi bernapas kala ini. Napasku terasa mulai terhenti di tenggorokan. Kudengar sayup-sayup suara komputer itu berbunyi dan tapakan kaki segerombolan berlari. Ohhh..!!!