Selasa, 06 September 2011

Tak Bertepi



Sebuah Cerpen Karya Alumni Smart Ekselensia Indonesia,
Subhanallah Walhamdulillah......
Tak Bertepi
(Goresan Tinta Pena: Hady Berhidayah....Hahaha)
Tidak seperti suami pertamaku dulu. Yang baik dan sayang dengan anak-istri. Bertutur kata lembut. Tak pernah bermuka murka meski sedang marah. Gajipun selalu diberikan seluruhnya kepadaku.

Bersamanya, ku tak dapatkan itu. Hanya makan dan tempat tidur empuk yang bisa kunikmati. Tapi apalah, itu juga kudapatkan dulu. Bersama suami yang dulu selalu membuatku senyum. Senantiasa membuat hati ini sejuk diselimuti pelukan kasih-sayang. Kata-kata yang terucap membuatku patuh tak pernah membantah. Senang rasanya bisa seperti dulu lagi.

Tuhan begitu baik. Tidak menakdirkanku bersamanya dalam tempo yang lama. Hanya di sisa-sisa hidup. Saat raga ini tak mampu lagi berjalan dengan baik. Kadang-kadang terpeleset hampir jatuh. Rambut ini pun memutih seutuhnya. Kulit yang dulu sehat kini sudah sangat keriput. Napas tak lagi selegah dulu. Ada sesak menusuk-nusuk, membuat remuk dada.

Aku masih ingat saat ia menjemputku ke rumah. Menjemputku untuk menikah dan menggantikan istrinya yang telah tiada. Meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya. Saat itu nasipku serupa dengannya. Setahun lalu aku ditinggal  suami yang lebih dulu ke surga. Nisan memisahkannya denganku dan anak-anak.

Kuterima lamaran itu dan tinggal bersamanya. Mungkin ia ingin memulai hidup baru bersamaku. Juga mencoba merajut kembali cinta kami yang lama terputus. Terputus oleh restu orang tua. Cinta yang dulu sempat bersemai di desa. Saat dulu kami masih duduk di bangku SMA. Namun, harus kandas karena perjodohan itu.

Kini kami dipertemukan lagi, tapi di masa tua. Tak ada anak-anak dan cucu. Hanya kami berdua. Mereka sudah menjalani hidup masing-masing bersama keluarga “barunya”. hanya ada kabar melalui telepon. Itupun sesekali saja. Anak-anak tiriku pun datang saat menjelang lebaran tiba. Hanya beberapa kali di hari biasa. Itupun menjenguk ayahnya. Menanyai kabarku? Tak pernah. Aku ibarat patung yang di pajang di keramaian. Orang-orang hanya melihat.

Hari-hariku habis hanya untuk mengurusi dirinya yang terserang stroke. Kaki kanannya sudah lumpuh, mati rasa. Kadang-kadang aku membantunya agar bisa berdiri dengan tongkatnya. Memasak makanan. Membersihkan tinjanya saat ia buang air di kasur, bahkan di sembarang tempat. Tak ada kebahagian di hari tuaku ini. Saat dulu berpacaran, bisa kubayangkan kebahagian yang tak tertera jika aku menikah suatu saat dengannya. Tapi aku salah, saat aku sudah bersamanya kini, hanya sesak dan kesal yang ada. Menerpa di setiap sekat-sekat langkah.

Setiap kewajiban sebagai seorang istri sudah kulakukan untuknya. Ikhlas tak mau Tuhan murka karena tak patuh padanya. Tapi tak ada kebahagian yang kudapat darinya. Kebahagian yang indah seperti dulu. Ia tak memberinya. Mungkin cintanya hanya untuk mantan istrinya. Mungkin itu sebabnya foto-foto istrinya yang dulu masih megah terpajang di dinding rumah tua ini. Bahkan ada yang berukuran besar. Tapi, mengapa ia menikahiku?

Apakah aku hanya dijadikan “pembantu” di rumah ini? aku tak sanggup lagi. Kuingin keluar dari belenggu, pergi meninggalkan “majikanku” ini. Akhirnya kuputuskan untuk dipulangkan ke Kalimantan, kampung halamanku. Di sana kuingin menikmati masa tua bersama anak-anak dan cucu-cucuku. Menikmati sisa-sisa hidup bersama mereka. Aku ingin melihat tawaan cucu-cucuku yang lucu. Canda anak-anakku yang menggelitik. Mencium semerbak mereka yang semakin mewangi. Senyum-senyum yang merekah yang membuat sejuk kalbu.

Ia mengizinkan permintaan terakhirku ini. Habis lebaran aku akan terbang ke sana. Terbang menuju kebahagian yang kuimpikan. Bertemu mereka, orang yang aku cintai. Tak sabar rasanya menunggu hari itu. Hari kedua lebaran. Tiket ini akan mengantarkanku.

Namun, ku tak sanggup melawan takdir. Tuhan memberiku sakit. Sakit yang sejak lama gejalanya kurasakan. Begitu menyiksa. Dan jika ia datang, gigiku selalu menggigit lidah hingga biru merona. Saat ini koma dan dilarikan ke rumah sakit.

Katanya, aku sudah 24 jam tak sadarkan diri. Tak ada bicara. Bisu tak bergerak. Ceritanya kudengar saat mulai siuman esoknya. Itupun terdengar sayup. Setiap orang yang berbicara ku dengar seperti bisikan.

Ia hanya satu kali menjengukku. Kemana dia? Aku sedang tak sanggup berbuat apa-apa. Menggerakkan salah satu saja bagian tubuhku pun tak bisa. Hanya kunang-kunang kekosongan yang bisa kurasakan. Bagaimana perasaan dia, apa yang dia sedang lakukan? Aku sendirian di sini tanpa sanak saudara.

Aku tak sanggup lagi bernapas kala ini. Napasku terasa mulai terhenti di tenggorokan. Kudengar sayup-sayup suara komputer itu berbunyi dan tapakan kaki segerombolan berlari. Ohhh..!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar