Rabu, 07 September 2011

Anak Berumur 12 Tahun Berbisnis, Cinta Lebaran Buat Sang Ibu

Lebaran adalah waktu yang sangat ditunggu oleh setiap kalangan. Dalam hal ini orang yang beragama islam. bahkan jauh sebelum itu pasar dan pusat perbelajaan lainnya ramai oleh pembeli yang ingin merayakan lebaran. baik itu membeli bahan-bahan untuk pembuatan kue lebaran, maupun pakaian baru untuk sanak saudara mereka. tradisi ini adalah tahunan terjadi di Indonesia. ada juga yang melakukan perjalanan Mudik ke kampung halaman meski jauh sekalipun. 

Teman-teman sekalian yang baik hatinya, kisah yang satu ini tidak jauh-jauh dari lebaran. dari anak yang bernama Muhammad Al-farizi. 

Terlihat raut muka kesal khas anak kecil di wajahnya saat pemerintah memutuskan bahwa Idul Fitri dilaksanakan lusa. Keputusan itu tampaknya belum membuat anak kecil itu yakin. kepada ibunya, ia meminta agar menelepon keluarga besarnya di seberang desa, bahkan Pamannya yang sedang kuliah di Bandung. tapi hasilnya nihil, kabar yang ia dapat serupa dengan apa yang ia dengar di Televisi malam itu. terlihat kecewaan dalam dirinya, anak kecil berumur 12 tahun. 

Tak sabar kelihatannya. Ingin cepat-cepat dipertemukan dengan hari kemenangan itu. hari yang sangat membahagiakan saat berkumpul dengan keluarga. Hal yang lebih menyenangkan lagi bagi anak seusianya ialah mendapatkan "salam tempel"  alias Tunjangan Hari Raya (THR).

sangking tak sabarnya, ia seharian tidur di kamar berharap waktu cepat berlalu. namun, usahanya sia-sia. tetap saja ia terus terbangun, entak kenapa, mungkin karena  kegelisahan.

Sedikit melenceng dari lebaran. seminggu sebelum dipertemukan dengan bulan Ramadhan, anak ini dirawat rumah sakit. sempat mengalami koma. tak mampu bicara. berkali-kali dilakukan cuci darah. panasnya tinggi dan mukanya pucat. Namun sayup-sayup ia masih bisa mendengar orang berbicara. ia tahu jika disampingnya, selalu ada sang ibu yang menemaninya. tak henti-hentinya sang ibu membisikkan. "sembuhlah nak...sembuhlah nak.....!" dengan air mata menetes. sebenarnya sang ibu tak sanggup melihat anknya itu terbaring sakit dengan keadaan seperti itu. namun, apa daya, ia harus selalu di sana. karena jika sesuatu terjadi, ia mungkin tak dapat bertemu lagi dengan anak satu-satunya itu.

Alhamdulillah, dengan kekuasaan Allah dan Rahman-Nya anak ini bisa sehat sediakala. juga usaha keluarga yang begitu besar untuk kesehatannya. meski harus membayar mahal, hutang sana sini, tapi mereka tetap bersyukur Al-Farizi bisa sembuh kembali. 

senyum anak itu kembali ceria pasca perawatan itu. masih sangat ingat ia saat berada di rumah sakit kala itu. ada ibu yang selalu di sampingnya, sesekali saudara-saudaranya memberikan support kepadanya agar lekas sembuh. 

kembali lagi ke lebaran kawan-kawan. akhirnya ia mendengar takbiran malam itu. "Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.... Allahuakbar wa Lillahilhamd..." senangnya bukan main, ia gembira ria menyambutnya. membakar petasan yang semenja kemarin sudah dibelinya. serta "menghidupkan" kembang api dan menerbangkannya ke angkasa. di raut wajahnya terlihat keceriaan yang sangat besar. 

besoknya ia mondar-mandir ke rumah sanak-saudara. sungkeman dan sangat berharap ada uluran tangan berisi amplop yang banyak dari mereka. "hehe..." ia tertawa ketika ada yang mulai memberinya THR. dimasukkannya ke dalam kantong celana dan menunggu Tunjangan selanjutnya. bertubi-tubi ia mendapat uluran tangan itu. isinya menakjubkan baginya. tak ada yang kurang dari Rp.20.000. 

malamnya ia berhitung dan alhamdulillah terkumpul sebanyak 800 ribu Rupiah. uang yang cukup besar baginya. 

disampingnya ada ibu yang ikut membantu menghitung uang itu. ia menyaksikan kegirangan anaknya itu. senang rasanya ia bisa melihat anak kesayangannya itu selalu tersenyum dan tertawa, tidak seperti di rumah sakit dulu. namun ia tak ingin terlalu menigingat saat-saat lara itu. bahkan ingin melupakannya.

sang ibu terperanjat ketika anaknya itu menyapanya.
"ibu, ini duitnya untuk ibu...!" ia berikan seluruh selebaran uang yang ada di genggamannya itu. 
"buat apa, nak?' tanya ibunya kaget.

"ambil saja ibu, dan terima kasih waktu itu ibu selalu berada di sampingku saat aku sakit...!!! dengan polos dan sungguh tindakan yang sangat jauh dari anak seusianya. 

"ibu lebih membutuhkan uang ini..!" lanjutnya.

ibunya menangis menyaksikan tingkah "malaikatnya" itu. sang ibu langsung memeluk anaknya dengan erat. "aku menyayangimu, nak..!" ucapnya sambil tersendat-sendat karena tangisan.
sang ibu sangat bijaksana. bagaimanapun uang itu adalah uang anaknya, uang hasil mondar-mandir anaknya itu ke sanak saudara. tak ada haknya untuk memakan hasil jerih payah anaknya itu. apalagi ia masih kecil. ucapnya dalam hati. uang itu dibelikannya playstation2 atau PS2. 

"ini nak uangmu ibu belikan, PE ES..!!! kamu bisa main sekalian bisnis rental Pees di rumah."

anak itu mngangguk seraya mengiyakan ucapan ibunya itu. akhirnya anak itu berbisnis rental pees dan mampu meringankan beban orang tua serta menambah uang jajannya. 100% ia menjalankan bisnis itu sendiri. langganannya adalah teman-teman sebaya bahkan ada yang jauh lebih tua. 

kisah yang menurut saya subhanallah, mudah-mudahan pembaca bisa mengambil hikmah dari tulisan ini. amin.

Selasa, 06 September 2011

Wahai Pemangsa Puisiku


Wahai Pemangsa Puisiku

Waktu menyekat tapakku
 Pemangsa mencabik-cabik puisiku
Mengoyak setiap goresan tinta di atas kertas putih itu
Meretas sulaman syair yang kulantunkan
Merobek sekat-sekat selebaran yang kutulis
Senarku terputus yang seharusnya menjadi melodi nan merdu
Harmoni nyanyian kalbu yang tak terbendung
Merana seketika itu
Saat kau memangsaku
Saat matamu menatapku tajam
Saat taringmu kau ngangakan
Kau sempat membuatku terperanjat
Berselimut tirai agar tak terlihat
Kau sempat membuat tanganku membeku
Lumpuh tak mampu menyeru
Wahai pemangsa!
Yang membelengguku begitu lama
Kini kuhadir
Mataku tak lagi takut akan taringmu
Telingaku tak lagi bising karena aumanmu
Aliran nadi yang dulu sempat kau sendat, membuat darahku tak membeku
Tapi kini, tatap aku wahai pemangsa!
Taringku jauh lebih tajam
Tatapanku jauh lebih dalam
Puisi mngalir deras di nadiku
Dan takkan pernah terputus
Ia ada di setiap hembusan napasku
Tak akan mati
Menyapa setiap indraku
Tak akan pernah lekang di setiap langkahku
Aumannya jauh lebih keras
Melodinya meharmoni setiap indra
Membuat syahdu kalbu
Mengalangkankan aumanmu
Mempecundangi matamu
Dan mengunyah taringmu yang rapuh
Wahai pemangsa




Tak Bertepi



Sebuah Cerpen Karya Alumni Smart Ekselensia Indonesia,
Subhanallah Walhamdulillah......
Tak Bertepi
(Goresan Tinta Pena: Hady Berhidayah....Hahaha)
Tidak seperti suami pertamaku dulu. Yang baik dan sayang dengan anak-istri. Bertutur kata lembut. Tak pernah bermuka murka meski sedang marah. Gajipun selalu diberikan seluruhnya kepadaku.

Bersamanya, ku tak dapatkan itu. Hanya makan dan tempat tidur empuk yang bisa kunikmati. Tapi apalah, itu juga kudapatkan dulu. Bersama suami yang dulu selalu membuatku senyum. Senantiasa membuat hati ini sejuk diselimuti pelukan kasih-sayang. Kata-kata yang terucap membuatku patuh tak pernah membantah. Senang rasanya bisa seperti dulu lagi.

Tuhan begitu baik. Tidak menakdirkanku bersamanya dalam tempo yang lama. Hanya di sisa-sisa hidup. Saat raga ini tak mampu lagi berjalan dengan baik. Kadang-kadang terpeleset hampir jatuh. Rambut ini pun memutih seutuhnya. Kulit yang dulu sehat kini sudah sangat keriput. Napas tak lagi selegah dulu. Ada sesak menusuk-nusuk, membuat remuk dada.

Aku masih ingat saat ia menjemputku ke rumah. Menjemputku untuk menikah dan menggantikan istrinya yang telah tiada. Meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya. Saat itu nasipku serupa dengannya. Setahun lalu aku ditinggal  suami yang lebih dulu ke surga. Nisan memisahkannya denganku dan anak-anak.

Kuterima lamaran itu dan tinggal bersamanya. Mungkin ia ingin memulai hidup baru bersamaku. Juga mencoba merajut kembali cinta kami yang lama terputus. Terputus oleh restu orang tua. Cinta yang dulu sempat bersemai di desa. Saat dulu kami masih duduk di bangku SMA. Namun, harus kandas karena perjodohan itu.

Kini kami dipertemukan lagi, tapi di masa tua. Tak ada anak-anak dan cucu. Hanya kami berdua. Mereka sudah menjalani hidup masing-masing bersama keluarga “barunya”. hanya ada kabar melalui telepon. Itupun sesekali saja. Anak-anak tiriku pun datang saat menjelang lebaran tiba. Hanya beberapa kali di hari biasa. Itupun menjenguk ayahnya. Menanyai kabarku? Tak pernah. Aku ibarat patung yang di pajang di keramaian. Orang-orang hanya melihat.

Hari-hariku habis hanya untuk mengurusi dirinya yang terserang stroke. Kaki kanannya sudah lumpuh, mati rasa. Kadang-kadang aku membantunya agar bisa berdiri dengan tongkatnya. Memasak makanan. Membersihkan tinjanya saat ia buang air di kasur, bahkan di sembarang tempat. Tak ada kebahagian di hari tuaku ini. Saat dulu berpacaran, bisa kubayangkan kebahagian yang tak tertera jika aku menikah suatu saat dengannya. Tapi aku salah, saat aku sudah bersamanya kini, hanya sesak dan kesal yang ada. Menerpa di setiap sekat-sekat langkah.

Setiap kewajiban sebagai seorang istri sudah kulakukan untuknya. Ikhlas tak mau Tuhan murka karena tak patuh padanya. Tapi tak ada kebahagian yang kudapat darinya. Kebahagian yang indah seperti dulu. Ia tak memberinya. Mungkin cintanya hanya untuk mantan istrinya. Mungkin itu sebabnya foto-foto istrinya yang dulu masih megah terpajang di dinding rumah tua ini. Bahkan ada yang berukuran besar. Tapi, mengapa ia menikahiku?

Apakah aku hanya dijadikan “pembantu” di rumah ini? aku tak sanggup lagi. Kuingin keluar dari belenggu, pergi meninggalkan “majikanku” ini. Akhirnya kuputuskan untuk dipulangkan ke Kalimantan, kampung halamanku. Di sana kuingin menikmati masa tua bersama anak-anak dan cucu-cucuku. Menikmati sisa-sisa hidup bersama mereka. Aku ingin melihat tawaan cucu-cucuku yang lucu. Canda anak-anakku yang menggelitik. Mencium semerbak mereka yang semakin mewangi. Senyum-senyum yang merekah yang membuat sejuk kalbu.

Ia mengizinkan permintaan terakhirku ini. Habis lebaran aku akan terbang ke sana. Terbang menuju kebahagian yang kuimpikan. Bertemu mereka, orang yang aku cintai. Tak sabar rasanya menunggu hari itu. Hari kedua lebaran. Tiket ini akan mengantarkanku.

Namun, ku tak sanggup melawan takdir. Tuhan memberiku sakit. Sakit yang sejak lama gejalanya kurasakan. Begitu menyiksa. Dan jika ia datang, gigiku selalu menggigit lidah hingga biru merona. Saat ini koma dan dilarikan ke rumah sakit.

Katanya, aku sudah 24 jam tak sadarkan diri. Tak ada bicara. Bisu tak bergerak. Ceritanya kudengar saat mulai siuman esoknya. Itupun terdengar sayup. Setiap orang yang berbicara ku dengar seperti bisikan.

Ia hanya satu kali menjengukku. Kemana dia? Aku sedang tak sanggup berbuat apa-apa. Menggerakkan salah satu saja bagian tubuhku pun tak bisa. Hanya kunang-kunang kekosongan yang bisa kurasakan. Bagaimana perasaan dia, apa yang dia sedang lakukan? Aku sendirian di sini tanpa sanak saudara.

Aku tak sanggup lagi bernapas kala ini. Napasku terasa mulai terhenti di tenggorokan. Kudengar sayup-sayup suara komputer itu berbunyi dan tapakan kaki segerombolan berlari. Ohhh..!!!



Selasa, 30 Agustus 2011

Sang Pemulung Mulia

         Teman-taman yang baik hatinya, kita sudah berada di hari yang fitrah. Malam itu kuberjalan. terliat begitu ramai. Kembang api berganti memberi warna di langit yang hitam. Insan bersuka cita. Jalanan macat oleh mobil-mobil dan kendaraan mewah. terliat debu bertebangan terpolarisasi cahaya lampu jalanan remang. tak sengaja kumelihat kumpulan pemulung yang sedang beristirahat. mungkin mereka tak bisa mudik tahun ini. Saya jadi terinspirasi menulis puisi di bawah ini. semoga ada manfaat. dan semoga kita sadar bahwa harus senantiasa bersyukur. banyak orang yang jauh kurang beruntung dari kita.



Kembang api menari-nari di angkasa
Menebar warna-warni cahya nan megah
Mendecak kagum hiruk-pikuk kota
Menenangkan pikiran yang resah
Jalan begitu ramai oleh pejalan kaki
Mobil-mobil Merci, avansa
Motor-motor bermerek mewah
Di setiap sudut rumah insan-insan bercengkrama
Tertawa lepas tak bernada
Gembira menyambut esok
Hari fitrah yang membuat sejuk dada
Tapi, ada juga mereka
Bersandar di tiang-tiang besi tak bernama
Merilekskan kaki yang lelah habis jauh melangkah
Duduk tak beralas di trotoar pinggir jalanan
Menahan sesak karena debu-debu jalanan yang berterbangan bersama udara
Bikin remuk dada
Bajunya usang, bau mereka campur aduk tak tertera
Sembari menikmati lukisan angkasa sedari tadi
Kini bergegas mengajak kakinya
Berjalan menggendong karung putih itu
Yang juga lusuh bernoda
Berisi plastik-prlastik, kardus, mungkin botol-botol bekas
Yang mereka ambil dari sudut kota, tempat sampah, sungai
Bau busuk selalu menjadi teman akrab hidung mereka
Keringat selalu menetes
Kulit terbakar panasnya raja cahya
Tak ada keluh dan kesah
Senyum manis, membawa suka
secercah nafkah untuk anak istri mereka
sang pemulung mulia

Jumat, 12 Agustus 2011

Syair: Udin Yang Korupsi

Enaknya jadi udin yang satu ini, bisa keliling dunia. Mungkin dia ingin mengikuti jejak temannya yang lebih dulu menikmati indahnya sunset dan panorama di berbagai belahan dunia. Namun, sebenarnya ia berada dalam kegelisahan yang membuatnya harus menapakkan kaki di tempat yang tak diketahui banyak orang. Sungguh patut diacungkan jempol kepada penjahat-penjahat kita. Kanapa? Siapa yang tak kagum mendengar bahwa para koruptor di negara kita ini diburu oleh badan interpol internasional. Wah, sangat mengagumkan!


Tak lama ada Gayus Tambunan, yang mencoba mengelakkan diri dari pemerintah Indonesia pergi ke luar Negeri. Waw, enak ya bisa mondar-mandir ke Luar Negeri. Sampai-sampai ada tuh yang pengen jadi Gayus Tambunan. Yang bisa pergi ke bali, semua keinginan yang pasti bisa terpenuhi. Lucu ya negeri ini? Haha

Indanya bertamasya dengan duit hasil menggerogoti uang rakyat bak tikus yang melobangi titik-titk dinding rumah yang membuat resah gelisah tak berlangsung lama, tak lama Ia ditangkap kemudian disidang dan harus merasakan indahnya hidup di buih.

Belum lama kepopularitasan Gayus itu hilang dimakan waktu, sekarang aktor baru dalam permainan tikus-tikus yang mungkin sudah mahir dari tikus-tikus jalanan lainnya. Ada syair lagu baru buat aktor yang tiba-tiba namanya melambung di atas ketenaran yang membuatnya mampu mengisi headline terpanas media.

Udin Yang Korupsi Namanya Nazarudin

Syair di atas simpel, tapi padat. Tak lama namanya melejit dalam album terbaru yang berjudul “Nazarudin Bersenandung”. Album ini berkisah tentang si ‘udin’ yang bisa-bisanya berkomunikasi kepada media melalu telpon dan BB mesengger.  Tak diragukan lagi koruptor yang satu ini, profesional. Mungkin jika ada yang ingin menyutradarai lagu di atas, bisa dijamin akan mendadak kaya. Haha

Baru-baru ini sudah terdengar lagi tentang kisah si udin ini, katanya ada orang yang ngefans sama udin, wajahnya mirip, dan sangat identik. Mugkinkah dia ingin mencoba menjadi populer seperti Nazarudin, si Udin yang korupsi. Orang yang mirip Udin katanya ditangkap Di Kolombia dengan nama udin juga yaitu syahruddin. Haha, dasar udin, udin. Walaupun namanya norak tapi terkenal. Ternyata, syahrudin ini katanya udin yang asli. Dan katanya udin akan dipulangkan ke Indonesia dan akan diperoses. Sungguh enak sekali setelah enak-enak berkeliling dunia, masih dipulangkan ya, alias gratis. Hihi mantap, i love you full, udin. Selamat datang ke Indonesia. Selamat menikmati hidup baru, selamat mengahadapi fans mu yang sudah lama menantikan kehadiranmu di sini. Menunggu kata-katamu sebagai idola, mereka pasti senang mendengarkan sepatah kata atau banyak kata darimu, yang mungkin mampu mengubah dunia. Wajahmua mengalihkan duniaku. hehehe

Minggu, 31 Juli 2011

Lupa Wajib, Sunnah Diributin



Teman-teman seiman, bagaimana kabar kalian menyambut ramadhan? Mudah-mudahan selalu sehat. Amin. Kali ini saya akan menulis sesuatu yang berkaitan dengan bulan yang akan kita tempuh selama sebulan ke depan, ramadahan. Tahu kan? Teman-temanku yang seiman pasti  tahu. Untuk teman-teman yang tidak seiman mohon maaf tidak saya sapa dulu dalam tulisan ini. Hehehe. Mudah-mudahan kalian juga dalam keadaan sehat selalu.
Baiklah, cerita dalam tulisan ini bukan pengalaman saya pribadi. Melainkan cerita dari guru bahasa arab saya di SMA SMART Ekselensia Indonesia, Parung, Bogor.
Awal cerita, di suatu malam bulan Ramadhan (saya lupa ramadhan di tahun kapan), yang jelas saat itu beliau baru saja selesai melaksanakan sholat tarawih berjamaah di salah masjid di daerah Bogor. Di masjid ini dilaksanakan sholat tarawih sebanyak delapan rakaat kemudian ditutup dengan sholat witir tiga rakaat. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk pulang. Setibanya di dekat pintu. Tiba-tiba beliau dipertemukan dengan dua kelompok jamaah yang sedang bertengkar. Terdengar jelas mereka mempeributkan masalah rakaat sholat tarawih. Yang satu kukuh dengan pendapat bahwa sebanyak sebelas rakaat termasuk witir, kelompok lain membantah dengan mengatakan seharusnya sebanyak dua puluh satu rakaat. Yang paling parah lagi, mereka hampir adu fisik alias berantam hanya gara-gara rakaat sholat tarawih.
Saya bukan ahli dalam hal agama. saya tidak tahu pasti berapa rakaat yang harus dilakukakan dalam sholat tarawih karena saya tidak tahu mazdhab yang benar. Yang jelas saya masih sangat mengingat perkataan guru saya ini kepada sekelompok orang yang berantem tadi. Begini teman-teman, guru saya basa basi bertanya kenapa meraka sampai berantam. Terus bla bla dijawab dengan nada keras oleh kedua kelompok itu. Mereka saling ngotot dengan pendapat mereka. Mendengar penjelasan mereka masing-masing beliau menanggapi dengan dua pertanyaan yang sangat tajam.
“ Apa hukum sholat tarawih?”
“ Apa hukum menyayangi dan menghargai sesama?”  Mereka serentak menjawab pertnyaan pertama dengan sunnah dan yang kedua dengan wajib.
Setelah pertanyaan di atas, beliau melanjutkan pertanyaannya.
“ Jadi, mengapa yang wajib kita tinggalkan karena mempeributkan yang sunna? Apakah itu yang diajarkan?” sekelompok orang itu langsung diam lebih dari seribu bahasa.
“Berapapun rakaat yang kita jalankan dalam sholat tarawih, itu berasal dari orang-orang terdahulu. Selama masih dalam pintu gerbang syariat islam, dan tidak mengantarkan kita kepada kemaksiatan, perbedaan itu boleh kita jalankan yang mana saja, sesuai pilihan, kondisi, dan situasi masing-masing . Perbedaan yang kita dapatkan sekarang, mari kita sikapi dengan jalan yang baik. Yang ingin menjalankan sebelas rakaat boleh, dua puluh satu juga diperbolehkan. Jangan kita bersihkeras menjalankan yang sunnah tapi yang wajib ditinggalkan. Hubungan kasih sayang dan saling menghargai adalah wajib kita jalankan. Alangkah indah hidup kita bisa menyayangi dan menghargai sesama meski dalam begitu banyak perbedaan.”
Cerita yang didapat dari guru saya di atas singkat namun memiliki makna yang besar bagi hidup kita. Semoga teman-teman semua dapat mengambil hikmah dari cerita di atas. Mudah-mudahan selalu menyayangi dan menghargai sesama. Amin.Lupa Wajib, Sunnah Diributin
Teman-teman seiman, bagaimana kabar kalian menyambut ramadhan? Mudah-mudahan selalu sehat. Amin. Kali ini saya akan menulis sesuatu yang berkaitan dengan bulan yang akan kita tempuh selama sebulan ke depan, ramadahan. Tahu kan? Teman-temanku yang seiman pasti  tahu. Untuk teman-teman yang tidak seiman mohon maaf tidak saya sapa dulu dalam tulisan ini. Hehehe. Mudah-mudahan kalian juga dalam keadaan sehat selalu.
Baiklah, cerita dalam tulisan ini bukan pengalaman saya pribadi. Melainkan cerita dari guru bahasa arab saya di SMA SMART Ekselensia Indonesia, Parung, Bogor.
Awal cerita, di suatu malam bulan Ramadhan (saya lupa ramadhan di tahun kapan), yang jelas saat itu beliau baru saja selesai melaksanakan sholat tarawih berjamaah di salah masjid di daerah Bogor. Di masjid ini dilaksanakan sholat tarawih sebanyak delapan rakaat kemudian ditutup dengan sholat witir tiga rakaat. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk pulang. Setibanya di dekat pintu. Tiba-tiba beliau dipertemukan dengan dua kelompok jamaah yang sedang bertengkar. Terdengar jelas mereka mempeributkan masalah rakaat sholat tarawih. Yang satu kukuh dengan pendapat bahwa sebanyak sebelas rakaat termasuk witir, kelompok lain membantah dengan mengatakan seharusnya sebanyak dua puluh satu rakaat. Yang paling parah lagi, mereka hampir adu fisik alias berantam hanya gara-gara rakaat sholat tarawih.
Saya bukan ahli dalam hal agama. saya tidak tahu pasti berapa rakaat yang harus dilakukakan dalam sholat tarawih karena saya tidak tahu mazdhab yang benar. Yang jelas saya masih sangat mengingat perkataan guru saya ini kepada sekelompok orang yang berantem tadi. Begini teman-teman, guru saya basa basi bertanya kenapa meraka sampai berantam. Terus bla bla dijawab dengan nada keras oleh kedua kelompok itu. Mereka saling ngotot dengan pendapat mereka. Mendengar penjelasan mereka masing-masing beliau menanggapi dengan dua pertanyaan yang sangat tajam.
“ Apa hukum sholat tarawih?”
“ Apa hukum menyayangi dan menghargai sesama?”  Mereka serentak menjawab pertnyaan pertama dengan sunnah dan yang kedua dengan wajib.
Setelah pertanyaan di atas, beliau melanjutkan pertanyaannya.
“ Jadi, mengapa yang wajib kita tinggalkan karena mempeributkan yang sunna? Apakah itu yang diajarkan?” sekelompok orang itu langsung diam lebih dari seribu bahasa.
“Berapapun rakaat yang kita jalankan dalam sholat tarawih, itu berasal dari orang-orang terdahulu. Selama masih dalam pintu gerbang syariat islam, dan tidak mengantarkan kita kepada kemaksiatan, perbedaan itu boleh kita jalankan yang mana saja, sesuai pilihan, kondisi, dan situasi masing-masing . Perbedaan yang kita dapatkan sekarang, mari kita sikapi dengan jalan yang baik. Yang ingin menjalankan sebelas rakaat boleh, dua puluh satu juga diperbolehkan. Jangan kita bersihkeras menjalankan yang sunnah tapi yang wajib ditinggalkan. Hubungan kasih sayang dan saling menghargai adalah wajib kita jalankan. Alangkah indah hidup kita bisa menyayangi dan menghargai sesama meski dalam begitu banyak perbedaan.”
Cerita yang didapat dari guru saya di atas singkat namun memiliki makna yang besar bagi hidup kita. Semoga teman-teman semua dapat mengambil hikmah dari cerita di atas. Mudah-mudahan selalu menyayangi dan menghargai sesama. Amin.