Sabtu, 19 Februari 2011

wasiat nasgor


Kedua jarum jam dinding itu sama-sama berada di  nomor dua belas ketika aku ingin menghitung sudah seberapa lama mata ini terpelongok di depan tv. Ternyata tiga jam. Dan baru sadar sejak tadi belum makan malam. Tak heran jika kepala ini sudah berkunang-kunang. Dan perut yang begitu agresif  seperti meremas-remas meminta haknya . Kuputuskan untuk membeli nasi goreng langganan.
“pak, nasi satu!”
“siap!” balas bapak itu seperti biasa.
“telornya dipisah ya pak!” pintaku karena malam terakhir kupesan telornya dicampur.
Sambil menunggu kuajak si bapak nasgor berbincang. Lupa apa yang kubicaran dengannya saat itu. Tapi ada satu tema yang sangat kuingat.
“besok bapak libur.”
Itu adalah awal dari perbincangan yang menurutku sangat menarik dan memaksaku untuk bertanya.
“kenapa gitu pak?”
“mau menjenguk anak yang di Jawa?”
Jawabannya membuatku makin penasaran untuk melontarkan pertanyaan selanjutnya. Karena setahuku dia pernah bilang kalau anak dan istrinya di Bandung.
“lho, bukannya keluarga di sini semua, pak?”
“bapak punya istri tua dan anak satu di sana.” Jawabnya sambil tersenyum.
Jawabannya membuatku senyum-senyum sendiri dan menganggukkan kepala seraya menggiyakan. Kemudian iya melanjutkan ceritanya.
“bapak sudah lama pisah dengan istri tua karena ada konflik keluarga yang membuat kami tak mungkin lagi bersama. Keadaan seperti inilah membuat bapak menikah lagi. Bapak tentu izin ke dia, diizinkan atau tidak diizinkan bapak tetap akan nikah lagi. Karena waktu itu sungguh sangat sakit. Daripada marah-marah yang berujung kepada permasalahan yang membesar. Dengan cara menikah lagi sekarang bapak sudah tenang, nyaman dengan keluarga yang sekarang. Pesan bapak, kalau kondisi rumah tangga kamu seperti bapak nanti, nikah lagi aja biar tenang. Bukan berarti bapak mendoakan. Maaf ya!”  Sambil ia tersenyum.  
“iya pak, sip!’
sulit kuterjemahkan senyuman apakah gerangan. Aku pun ikut-ikutan tersenyum hampa di sela-sela ocehannya. sebenarnya aku masih penasaran dengan konflik yang menimpa mereka. tapi menurutku itu tidak mungkin kutanyakan karena terlalu bersifat pribadi. 
cerita ini tentu tidak akan aku cerna mentah-mentah. Mudah-mudahan ada hikma di balik semua cerita ini. Bukan hanya aku, tapi seluruh orang-orang yang pernah mendengarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar